Ketika Bambang pamungkas menjebol gawang Malaysia, seisi Stadion Senayan sontak bergemuruh, mereka bersukacita. Begitu pun sesaat sebelum pertandingan dimulai, bendera merah putih dieret, semua orang seperti dikomando, bersama terlarut dalam emosi, menyanyikan lagu kebangsaan. Apa yang membuat mereka tertawa bersama ketika mengecap kemenangan, menangis bersama, dan kompak cucurkan air mata di lain kesempatan saat tim nasionalnya kalah?Apa artinya kulit sapi yang dijahit berbentuk bundar, dikejar kesana kemari, diperebutkan oleh 22 pemain, saat lewati garis gawang, orang-orang meluapkan emosinya dan berekspresi.
Apa yang mendasarinya? Apa yang membuat selembar kain merah putih begitu berharga dimata 240 penghuni sebuah Negara? Tiada lain jawabannya adalah perasaan kolektif (kebersamaan) sebagai sebuah bangsa. Begitupun dalam beragama, sesama umat akan memiliki kesamaan nasib, pandangan dan tujuan. Koentjaraningrat (ahli antropologi) menguraikan bahwa aktifitas keagamaan dilandasi getaran jiwa, yang biasa disebut dengan emosi keagamaan (religious emotion). Ada sebuah dzauk, citarasa yang khas dan sukar diungkapkan. Nilai rasa kolektif itulah yang mendasari penganut sebuah agama meyakini keagungan ajaran, makna hari besar, berharganya sebuah benda dan tradisi, bahkan dalam kondisi tertentu memiliki nilai keramat (sacred value).
Apa yang mendasarinya? Apa yang membuat selembar kain merah putih begitu berharga dimata 240 penghuni sebuah Negara? Tiada lain jawabannya adalah perasaan kolektif (kebersamaan) sebagai sebuah bangsa. Begitupun dalam beragama, sesama umat akan memiliki kesamaan nasib, pandangan dan tujuan. Koentjaraningrat (ahli antropologi) menguraikan bahwa aktifitas keagamaan dilandasi getaran jiwa, yang biasa disebut dengan emosi keagamaan (religious emotion). Ada sebuah dzauk, citarasa yang khas dan sukar diungkapkan. Nilai rasa kolektif itulah yang mendasari penganut sebuah agama meyakini keagungan ajaran, makna hari besar, berharganya sebuah benda dan tradisi, bahkan dalam kondisi tertentu memiliki nilai keramat (sacred value).
Indonesia, satu-satunya negara di dunia yang setiap musim lebaran (idul fitri) mengalami pergerakan manusia yg paling aktif dan massif, berupa mudik. Mudik kata dasarnya udik (hulu) sebagai kebalikan dari hilir . Orang Sunda menyebut orang yg tak paham tata krama, kampungan, ndeso, dg sebutan “orang udik” maksudnya orang gunung, hal ini sejalan dengan realita saat walisongo datang sekitar abad 15 M, orang pantai (hilir) lebih dulu mengecap peradaban baru yg kosmopolitan (modern). Orang pegunungan agak lambat dalam proses islamisasi, seperti halnya kaum Badui di Saudi Arabia. Mengacu pada klasifikasi Cliffort Geertz, orang hilir (pesisir pantai )mayoritas didentifikasi sebagai kaum santri (muslim kaffah) , sedang orang udik (pegunungan) kebanyakan orang abangan (Islam KTP). Namun fenomena kini mengalami perubahan. Kaum santri-lah yang lebih banyak di pedesaan. keberadaan pesantren di desa-desa dan perkampungan justeru menjadi cagar budaya dan menjaga otentisitas ajaran agama Islam dg jalur kultural. Beda halnya dengan di negeri lain, ambil contoh Iraq. Pusat keagamaannya terkonsentrasi di kota-kota, pilar-pilar religi tak merembes maksimal sampai ke pedesaan, akibatnya saat tentara koalisi memborbardir pusat kota, aspek ritual keagamaan pun terkena imbas negatif yang luar biasa.
Dalam tradisi mudik, Orang-orang yang belasan tahun mengadu nasib di hilir (kota), kembali ke desa sebagai asal mulanya, Mereka berbondong-bondong ke kampung sebagai hulu (udik). Dipandang sekilas, mudik hanya menghamburkan uang, terutama dengan kacamata ekonomi barat (konvensional). Saya masih ingat guru ekonomi kami saat kelas 1 SMP , Ibu Sufi, menyampaikan konsep dasar ekonomi: “mendapatkan keuntungan sebesar-besarnya, dengan pengorbanan sekecil-kecilnya”. Tradisi mudik bila dipandang dari aspek ekonomi semata, jelas banyak ruginya. Mesti mengalokasikan biaya transpor, konsumsi di perjalanan, sampai segepok uang untuk berbagi dengan sanak-sodara dan kerabat di kampung. Namun bagi musliminIndonesia, ada sacred value dalam tradisi mudik. Kenikmatan berbagi, keindahan bercengkerama dengan sanak famili, rasa puas mengobati rindu bertemu teman masa kecil, sampai merawat kearifan lokal di kampung masing-masing, adalah sesuatu yang tak bisa dibeli dengan uang. Tak dapat dimungkiri, proses modernisasi harus kita jalani, tapi ingatlah, Jepang bisa besar dan menjadi raksasa ekonomi, karena mereka tak melupakan budaya sendiri, begitupun Negara Tiongkok. Dalam rangka merawat religious emotion dan mengobati rasa rindu atas kampung halaman, izinkan saya berkisah tentang sebuah tradisi keagamaan yang hidup dan berkembang di daerah kami, sebuah wilayah yang terletak 50 KM selatan kota Tasikmalaya, terletak antara Gunung Galunggung dan laut kidul (Samudera Hindia) , seperti halnya tanah mataram yg diapit Merapi dan samudera hindia pula.
Di kampung kami setiap malam jum’at biasa diadakan “riyadloh”. Makna dasar riyadloh adalah olah raga, pada tataran praksis dapat diartikan “olah batin.” “Ajengan ahmad”, guru spiritual kami menyebutnya:”apel ka nu maha Kawasa”, padanan bahasa sufistiknya: “bercengkerama dg sang pencipta” . Riyadloh adalah proses charge jiwa yang kering kerontang, ibarat telepon genggam yang low-bat. Inilah momen membuat battrei itu kembali full, dengan bertafakur, dan bertaqarrub pada Yang Maha Kuasa. Riyadloh ini pada intinya do’a bersama, membaca surah yasin, dan dipungkas dengan kajian tafsir yasin oleh A Agus. Sebagai opening, Sebelum do’a bersama dimulai, terlebih dahulu dibacakan sya’ir “Lam Yahtalim” karya “Syeikh nawawi Al-Bantani.”
Dalam sejarah peradaban dan epistemologi keilmuan Islam, ada dua nama Nawawi yg melegenda. Yg pertama, Ulama besar asal Damascus, Imam Nawawi (Abu Zakaria , Yahya bin syaraf an Nawawi), wafat di usia 45 tahun dalam kondisi melajang karena tenggelam dalam keasyikan ilmiah, pada 676 H/1277 M, diantaranya mengarang kitab Majmu’ syarah muhaddzab, minhajut Talibin (dalam fiqih), riyadus salihin, arba’in an nawawiyah (hadits), adzkar an nawawi (kumpulan do’a dan dzikir)
Nawawi yg kedua-lah yg kita maksud dalam tulisan kali ini. Sebagai pembeda, Nawawi yg pertama memakai gelar imam, Nawawi yang kedua (Syeikh nawawi al-bantani al Jawi), biasa sejarawan sebut dg panggilan “syeikh”. Albantani sebagai penisbatan atas tanah kelahiran beliau, Banten, tepatnya wilayah Tanara , Serang. Sedangkan al-jawi (orang jawa) bukan hanya mengacu pada orang Jawa yang kita kenal sekarang di masa modern, Jawi yg dikenal masa itu mencakup seluruh nusantara, bahkan termasuk Pattani (Thailand bagian selatan) dan Philipina bagian selatan. Syeikh Nawawi menjadi pengajar di Masjidil haram sampai wafatnya dan dikebumikan di Makah al-mukarromah pada 25 Syawal 1314/Maret 1897. Beliau adalah pengarang yg sangat produktif dg ratusan karya, diantaranya: dalam bidang akidah menyusun “Fathul majid,” penjelasan atas ‘Addurrul farid fi aqo’idi ahli tauhid (karya Sayyid Abdurrahman an-Nahrawi , w 1795 M), dalam bidang fiqih (yurisprudensi hukum) : syarah safinah, syarah sulam taufiq, dan Nihayatuz zain(syarah/penjelasan Fathul mu’in karya Zainuddin al-Malibari, 1567 M).
Sebagai catatan: masa kontemporer sekarang, justru yg banyak beredar di Gramedia, palasari, Gunung agung , dan toko buku besar lain adalah fathul majid versi reformis dari kalangan manhaj salafi, atau beberapa kalangan menyebutnya wahabi, pengarangnya syeikh Abdurrahman ibn Hasan alu syaikh. Fathul majid versi salafi ini bergaya tekstual, hanya berisi dalil naqli (Al Qur’an dan al hadits). Sedangkan Fathul Majid karya syeikh Nawawi , setahu penulis jarang ditemukan di toko buku umum karena belum ada versi bahasa Indonesianya. Fathul majid versi syeikh nawawi lebih kontekstual, menggunakan metode teologi islam klasik-“ilmu kalam” -dg pendekatan ganda yaitu naqli (Qur’an hadits), serta takaran yg proporsionaluntuk dalil aqli (argumentasi logika). Metode pemaparan konsep dan dalil fathul majid syeikh Nawawi mengikuti pola “Ummul Barohin” Karya ulama fenomenal dari Ulama besar asal kota Tilimsan (Tlemcen) Aljazair, Imam Sanusi (1490 M). Sebagaimana pendahulunya yaitu Abu Hasan al asy’ari (330 H/941 M), Imam sanusi mampu mendamaikan wahyu dan akal, terutama terlihat dalam magnum opusnya, “Ummul Barohin.” Kitab ini memang menjadi pionir dan standar bagi kitab-kitab aqo’id sunni yang muncul setelahnya seperti kifayatul awam , nazham Jauhar tauhid, dan Tijan ad darori.
Hampir semua ulama di Asia Tenggara memiliki kaitan genealogi keilmuan (sanad) dg Syeikh Nawawi. Sya’ir “Lam Yahtalim” yg setiap malam jum’at dibaca di kampung kami isinya mengurai berbagai keistimewaan “ragawi” serta mu’jizat Kanjeng Nabi. Khasiat dan dan keistimewaan (fadilah) “lam yahtalim” adalah sebagai ikhtiar dan do’a untuk menjauhkan segala musibah seperti terekam dalam salah satu kutipan sundanya: “ari ieu katangtuan, apalkeun tangtu salamet, tina seuneu jeung nu maling, jeung tina kabalian”, hapalkanlah nazham ini, niscaya kau akan selamat dari api (kebakaran), pencurian, dan berbagai balai (musibah).
berikut beberapa petikan awal sebagai pembuka deretan sya’ir tsb:
Lam Yahtalim qotthu thooha mutlaqon abadaa
Wamaa tatsa’aba ashlan fi madaz zamani
(tara Ngimpen jima’ kanjeng Nabi sayuswana
Sareng tara heuay dina salamina zaman)
“Tidak pernah mimpi jima, nabi sepanjang hidupnya
Tak pernah pula menguap , kanjeng nabi selamanya”
Cat:mimpi Jima=wet dream
Minhud dawaabu falam tahrob wamaa waqo’at
Dubaabatun abadaa, fii jismihil hasani
(Sato lingas tara lumpat, mun pendak jeung kanjeng Nabi,
Tara dieuntreupan laleur, salira nu sae pisan).
“Hewan liar tak berlari, ketika bertemu Nabi
Tak pernah lalat hampiri, badan seharum kesturi”
Bikholfihi ka amaamin ru’yatun tsabatat
Walaa yuroo atsru baulin minhu fi ‘alani
(ka pungkurna, hanteu benten, cara ka payun awasna
Teu katingali buktosna, tilas cai kahampangan)
“Penglihatan ke belakang, sama halnya dengan depan
Tak pernah terlihat mata, bekas kencing sang baginda”
Waqolbuhu lam yanam, wal ‘ainu qod na’isat
Wala yaroo zhillahu, fis syamsi dzu fathoni.
(Manahna tara kulem, ngan socana rajeun ngantuk
Teu katingal kalangkangna, najan anu pinter pisan)
“Tak pernah tidur hatinya, meski kantuk hampirinya
Tak terlihat bayangannya, tak ragu kepintarannya”
Wallahu a’lam bis shawab
Margonda, kamis 28 februari 2013, 21.00/ malam jum'at wage 18 Rabi'ul akhir 1434 H oleh Ucu Saeripuridwan
Versi bahasa Arab dan Sundanya diterima dari Pangersa Alm. KH Bahauddin pancatengah, Kab Tasikmalaya (Mama Wangun), dari Alm.KH Zainal Muttaqin, Kp Cibeuti, Kec. Kawalu, kota Tasikmalaya (Mama Cibeuti) dari mama Sempur Purwakarta, dari Syeikh Nawawi Al-bantani.
Versi Bahasa Indonesia: Oleh al-faqir(penulis)
haha ga berani gan ngikutin sikat gigi dengan cara tradisional tapi klau jaman dahulu kata'a denger" paling bagus pake serpihan batu bata merah gan. kata orang dulu sih denger"
ReplyDeletesaya juga pernah mengalami sikat gigi dengan batu batra gan.. awalnya gigi saya hitam, dan disaranin untuk sikat gigi dengan batu bata. tapi hasilnya mujarap gan
DeleteSetuju kang, tradisi dan budaya kita selayaknya kitalah yang menjaga dan melestarikan. Sehingga tidak akan pudar dimakan waktu dan di serobot negara lain. Saatnya menjadikan jati diri anak bangsa yang cinta akan tradisi.
ReplyDeleteterimakasih atas info nya gan
ReplyDeletebudaya yang baik patut kita perthan kan
ReplyDeleteMantap Gan ! Bantu Kunjungan Balik Gan
ReplyDeletehttp://blues-code.blogspot.com
Follow Kalau Ngak Keberatan :D