Tapi sehebat apapun kota Jakarta, Jakarta tetap kota yang mempunyai keterbatasan wilayah sebuah kota yang mempunyai keterbatasan daya tampung. Artinya, harus ada batasan jumlah penduduk yang mendiami kota Jakarta. Batasan ini diperlukan untuk menyediakan kehidupan yang layak bagi tiap manusia yang hidup di dalamnya. Karena jika batas ini dilanggar, atau terjadi ketimpangan antara luas wilayah dan jumlah penduduk maka bisa diprediksi akan muncul berbagai macam masalah, baik sosial, transportasi, ekonomi, atau bahkan politik.
Jakarta primadona Ekonomi Indonesia, hampir dari 70% perputaran uang Indonesia terjadi di kota ini. Hal ini lantas menjadi magnet yang mampu menjadi daya tarik tersendiri untuk membuat orang-orang mau datang dan mengadu nasib di Jakarta. Tidak pelak lagi, Jakarta kemudian dipenuhi oleh kaum urban yang ingin “berjudi” demi kehidupan yang lebih baik.
Mari kita fokus pada masalah transportasi, akibat ledakan penduduk yang terjadi di Jakarta yang tidak diiringi dengan penambahan jumlah wilayah di Jakarta (jelas ini tidak mungkin kecuali dilakukan reklamasi pantai utara jawa) akan menciptakan masalah baru di Jakarta khususnya masalah transportasi. Secara sederhana, jumlah penduduk yang meningkat harus diiringi dengan peningkatan pelayanan transportasi publik baik kualitas maupun kuantitas. Ini logika sederhana yang ada dalam manajemen pengelolaan perkotaan, maka saat peningkatan pelayanan transportasi publik tidak dapat dipenuhi, orang-orang akan beralih kepada kendaraan pribadi seperti mobil dan motor. Dan jika jumlah kendaraan yang beredar di Jakarta jauh melebihi rasio pertambahan dan luas jalan yang ada di Jakarta dapat ditebak kemudian apa yang akan terjadi, yaitu kemacetan. Dan hal itulah yang kini terjadi di Jakarta.
Memang minimnya pelayanan transportasi publik bukanlah penyebab satu-satunya kemacetan di Jakarta, ada faktor lain. Kebijakan transportasi publik seperti terkait fiskal kendaraan, kebijakan investasi industri kendaraan terutama terkait pembatasan produksi kendaraan dinilai juga mempengaruhi atau menjadi penyebab terjadinya kemacetan di DKI Jakarta. Dari data yang berhasil dihimpun oleh Polda Metro Jaya pada tahun 2009 jumlah kendaraan bermotor mencapai 9.993.867 unit, dan pada tahun 2010 jumlahnya meningkat 15% yaitu mencapai jumlah 11.362.396 unit yang terdiri dari kendaraan roda dua 8.244.346 unit dan roda empat sebanyak 3.18.050 unit. Jumlah tersebut belum ditambah dengan jumlah angkutan yang melintas dalam satu trayek yang menurut data Direktorat Lalulintas Polda Metro Jaya sebanyak 859.692 unit, pertumbuhan kendaraan saat ini pun mencapai 700 kendaraan perhari. Bandingkan hal tersebut dengan panjang jalan di Jakarta yang hanya 7.650 km dan luasnya hanya 40,1 km atau 0,26 persen dari luas wilayah DKI, sedangkan pertumbuhan panjang jalan hanya 0,01% per tahun. Tanpa perlu penulis jelaskan lebih lanjut dapat terlihat dengan jelas ketimpangan nyata yang terjadi antara jumlah kendaraan yang beredar di Jakarta dengan total panjang jalan yang ada di Jakarta.
Permasalahan kemacetan ini memberikan tenggat waktu untuk segera diselesaikan, menurut prediksi dari Polda Metro Jaya dan beberapa lembaga penelitian yang bergerak dalam bidang transportasi, jika masalah kemacetan di Jakarta ini tidak segera diselesaikan maka bisa dipastikan pada tahun 2014 atau paling lambat pada tahun 2015 Jakarta akan mengalami fenomena macet total. Hari ini saja kita sudah sering melihat kemacetan yang makin parah, tidak hanya jalan raya bahkan trotoar yang notabenenya adalah hak para pejalan kaki diambil dan direbut oleh para pengendara motor. Miris melihatnya, tetapi itulah faktanya kemacetan membuat manusia di Jakarta menjadi tidak manusiawi.
Penulis mencoba untuk menganalisa akar masalah dari kemacetan ini, diantaranya: Pertama, kemacetan di Jakarta diakibatkan terjadinya ketimpangan antara jumlah penduduk dan daya tampung (kapasitas) kota Jakarta itu sendiri. Menurut data Badan Pusat Statistik pada tahun 2010 jumlah penduduk kota Jakarta mencapai 9.588.198 orang (bandingkan dengan jumlah penduduk pada Juni 2007 dimana mencapai angka 7.552.444 orang, itu artinya ada peningkatan sekitar 28% pada tahun 2010) sedangkan luas DKI Jakarta mencapai 662,33 Km2 sehingga jika dihitung, kepadatan penduduk kota Jakarta adalah sebanyak 14.476 orang per Km2. Hal tersebut belum ditambah dengan pertambahan penduduk pada siang hari dimana banyak orang datang ke Jakarta untuk bekerja yang berasal dari kota-kota satelit di sekitar kota Jakarta (Bogor, Depok, Bekasi dan Tanggerang).
Kedua, kemacetan di Jakarta terjadi akibat kebijakan transportasi publik yang tidak jelas, tidak ada rencana jangka panjang dan tidak ada kesinambungan program dan strategi pembangunan. Kemampuan pengelolaan transportasi yang publik yang buruk dapat dilihat dari kualitas angkutan umum yang ada di Jakarta. Sudah bukan rahasia umum lagi kalau angkutan umum yang suka ‘ngetem’ sembarangan dan ugal-ugalan merupakan salah satu sumber kemacetan di Jakarta. Selain itu maraknya tindakan kriminalitas yang terjadi di atas angkutan umum membuat tidak banyak warga Jakarta yang mau menggunakan jasa angkutan umum, rata-rata warga Jakarta memilih untuk menggunakan kendaraan pribadi. Kereta Api Listrik pun sama saja, sering terjadi keterlambatan dan pelayanan yang kurang memuaskan seperti jumlah gerbong yang sedikit tidak sebanding dengan jumlah penumpang yang harus di angkut menyebabkan warga Jakarta juga ‘ogah-ogahan’ menggunakan jenis transportasi ini (andaikan ada yang menggunakan Kereta Api Listrik hal itu dikarenakan mereka sudah tidak mempunyai pilihan lain, karena tidak ada pilihan lain yang lebih baik).
Ketiga, kemacetan Jakarta juga terjadi dikarenakan biaya penggunaan kendaraan pribadi lebih murah dibandingkan dengan kendaraan umum. Sebagai contoh mengapa sekarang banyak kendaraan pribadi yang beredar di Jakarta adalah karena cara untuk memperolehnya sangatlah mudah, motor misalnya hanya dengan uang Rp.500 ribu sudah bisa membawa pulang motor ke rumah (kredit motor), juga dengan mobil hanya dengan uang Rp.30-40 juta sudah bisa membawa pulang mobil ke rumah (kredit mobil). Ditambah dk engan harga Bahan Bakar Minyak (BBM) yang relatif murah menyebabkan biaya menggunakan kendaraan pribadi jauh lebih murah dibandingkan dengan biaya menggunakan kendaraan umum. Sesuai dengan prinsip ekonomi maka sangat manusiawi jika kemudian warga Jakarta lebih memilih untuk menggunakan kendaraan pribadi dibandingkan dengan kendaraan umum.
Keempat, kemacetan Jakarta juga terjadi akibat tidak ada upaya dari pemerintah untuk melakukan pembatasan terhadap pertumbuhan kendaraan pribadi dan pengeluaran izin trayek angkutan umum, hasilnya adalah jumlah kendaraan yang melebihi batas normal kewajaran yang dapat ditampung oleh jalanan Ibu kota. Pemerintah terlihat kurang tegas untuk melakukan pembatasan atau penerapan pajak progressif pada kepemilikan kendaraan pribadi di Jakarta. Hal ini ‘sulit’ dilakukan karena terkait dengan kebijakan investasi yang melibatkan perusahaan-perusahaan produsen kendaraan skala besar.
Lalu apa yang harus dilakukan oleh Pemerintah dalam hal ini sebagai pelaku kebijakan nasional dan Pemerintah Daerah sebagai pelaku kebijakan daerah yang bertanggung jawab atas pelaksanaan kebijakan transportasi ini. Penulis sudah mencoba melakukan analisa dan menyusun beberapa solusi yang dirasa sesuai dan dapat membantu untuk menyelesaikan permasalahan kemacetan di Jakarta. Beberapa solusi tersebut diantaranya:
Pertama, sebelum berbicara mengenai kebijakan transportasi publik yang manusiawi perlu dipikirkan sebelumnya bagaimana caranya untuk menekan jumlah penduduk yang ada di Jakarta. Menekan tingkat urbanisasi salah satunya dapat dilakukan dengan melakukan pembangunan di desa. Selama ini banyak kaum urban memilih Jakarta sebagai kota tujuan mereka karena di desa tempat mereka tinggal pilihan lapangan pekerjaan yang ada sangatlah sedikit, sehingga membuat mereka mau tidak mau harus pergi ke kota Jakarta guna memperoleh pekerjaan yang layak. Oleh karenanya kedepannya Pemerintah perlu memikirkan untuk melakukan pembangunan yang massif di daerah pedesaan, hal ini juga membantu untuk melakukan pemerataan pembangunan di Indonesia. Untuk hal ini bisa dilakukan dengan tansmigrasi, hanya saja transmigrasi ini perlu disiapkan dengan baik. Jangan sampai para transmigran malah memperoleh kehidupan yang lebih buruk saat memutuskan untuk melakukan transmigrasi ke daerah tempat tujuan transmigrasi.
Kedua, untuk bisa menyelesaikan kemacetan di Jakarta adalah dengan menekan jumlah kendaraan yang beredar di Jakarta. Selain kendaraan pribadi, yang juga harus ditekan adalah jumlah kendaraan umum yang melebihi kuotanya dalam satu trayek angkutan. Untuk kendaraan pribadi sebenarnya bisa menggunakan beberapa cara, dan hal ini juga digunakan di beberapa Negara lain seperti Singapura dan Jepang misalnya kebijakan pengenaan pajak progressif terhadap kelipatan jumlah mobil yang dimiliki dalam suatu keluarga. Misalnya jika saya dalam satu keluarga, membeli mobil kedua dan ketiga maka pajak yang dikenakan kepada saya akan lebih besar dibandingkan saat saya membeli mobil pertama dan begitu seterusnya, sehingga menyebabkan orang-orang harus berpikir ribuan kali untuk membeli mobil kedua dan ketiga dan seterusnya. Kebijakan fiskal juga dapat diterapkan pada bahan bakar kendaraan, dimana dengan menaikkan harga bahan bakar kendaraan pribadi namun mensubsidi harga bahan bakar kendaraan umum sehingga biaya untuk menggunakan kendaraan umum bisa lebih murah dibandingkan daripada menggunakan kendaraan pribadi. Jika ini diterapkan, secara prinsip ekonomi akan membuat orang-orang beralih ke kendaraan umum, hal ini sejalan dengan prinsip ekonomi.
Selain menggunakan instrumen kebijakan fiskal seperti di atas, menekan jumlah kendaraan juga dapat digunakan dengan memperketat izin pengeluaran Surat Izin Mengemudi dan Izin Trayek Kendaraan Umum dengan memperhatikan kebutuhan warga Jakarta. Juga dengan melakukan pembatasan usia kendaraan seperti yang diterapkan di Jepang, misalnya setelah melewati usia x tahun maka kendaraan tersebut harus segera “di museumkan”. Jadi selain bisa menekan, jumlah kendaraan yang beredar juga bisa “menyehatkan” jalanan Jakarta.
Ketiga, pembatasan kendaraan pribadi tidak akan berguna jika tanpa diiringi dengan peningkatan kualitas pelayanan transportasi umum. Karena harapan yang ingin dicapai saat dilakukan pembatasan kendaraan pribadi adalah beralihnya para pengguna kendaraan pribadi kepada kendaraan umum seperti kereta, Bus Trans Jakarta atau jenis kendaraan umum lain. Sebagai contoh, penerapan bus transjakarta sebagai salah satu “quick wins” Pemda DKI Jakarta penulis katakan belum cukup berhasil, karena hanya menarik para pengguna angkutan umum seperti bis, metromini, kopaja dan lain-lain. Sedangkan pengguna kendaraan pribadi seperti motor dan mobil hanya sedikit yang kemudian beralih menggunakan Bus Trans Jakarta. Hal ini bisa dimaklumi dikarenakan pelayanan yang diberikan masih jauh dari memuaskan. Hal-hal yang sering menjadi keluhan adalah masalah keterlambatan waktu, kemacetan yang masih sering terjadi walau sudah diadakan jalur khusus untuk Bus Trans Jakarta, jumlah armada yang tidak sesuai dengan jumlah penumpang sehingga menyebabkan penumpang harus berdesak-desakan dan tidak nyaman serta kurang adanya fasilitas pendukung lain seperti tempat parkir guna memarkir kendaraan pribadi atau bus satelit guna “menjemput” calon penumpang dari kantong-kantong pemukiman. Hal ini dirasa perlu mengingat jarak antara shelter Bus Trasn Jakarta dan perkampungan atau pemukiman penduduk relatif masih jauh sehingga membutuhkan angkutan satelit.
Dan Keempat, terkadang kegagalan dalam penerapan kebijakan guna menyelesaikan permasalahan kemacetan di Jakarta bukan pada minimnya kualitas dari kebijakan yang dihasilkan, tetapi akibat adanya ego sektoral dari masing-masing Pemerintah Daerah maupun organ yang berwenang. Sebagai contoh sampai saat ini masih sering terjadi tarik menarik terkait kebijakan transportasi kota antara Jakarta dan Tanggerang atau kota lan yang tergabung dalam Jabodetabek. Jika hal ini terjadi maka diperlukan turut campur dari kewenangan yang jauh lebih tinggi dalam hal ini adalah Pemerintah Pusat. Pemerintah Pusat harus melakukan terobosan untuk menerabas dengan tegas ego sektoral yang berkembang di daerah-daerah tersebut. Dengan hal tersebut diharapkan dapat mengefektifkan kebijakan yang dikeluarkan pemerintah. Memang sejak rezim desentralisasi bergulir pasca reformasi hal tersebut menciptakan raja-raja kecil di daerah, hal ini secara langsung membuat jalur koordinasi yang awalnya terpusat atau komando menjadi tersebar, sehingga menyebabkan butuh waktu dan tenaga lebih untuk melaksanakan suatu kebijakan.
Saat ini tengah dibentuk Otorita Transportasi Jabodetabek (OTJ) yaitu sebuah lembaga yang diperuntukkan khusus untuk menyelesaikan permasalahan transportasi di Jabodetabek. OTJ dibentuk sebagai upaya pamungkas akibat buntunya kebijakan yang dilakukan baik oleh Pemerintah Pusat maupun Daerah. Dengan OTJ ini diharapkan masalah-masalah ego sektoral yang sebelumnya muncul bisa diselesaikan dengan baik, sehingga prinsip pelayanan publik untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat dapat terwujud.
Terakhir, penulis hanya ingin menyimpulkan bahwasanya masalah kemacetan di DKI Jakarta lagi bukan lagi menjadi masalah Pemda DKI Jakarta saja, atau Pemda lain yang tergabung dalam Jabodetabek tetapi sudah menjadi masalahan nasional mengingat peran sentral Jakarta yang sangat besar dalam perekonomian dan pemerintahan Indonesia. Bayangkan selama ini energy dan waktu warga Jakarta sering terkuras karena kemacetan, BBM kita pun juga demikian sehingga tak pelak lagi menimbulkan kekhawatiran yang dalam. Jika saja sampai 2014 tidak ada kebijakan transportasi yang berarti maka siap-siap saja Jakarta akan Macet Total pada 2014. Jika hal itu terjadi maka harapan untuk melihat Indonesia yang sejahtera dan maju hanya akan menjadi cerita isapan jempol belaka.
Sakti Lazuardi
Pemerhati Kebijakan Publik
Anggota Grup Diskusi Makara Progressif UI
No comments:
Post a Comment